Senin, 14 Maret 2011

Bapak

Dia seseorang yang sangat keras kepala sama seperti aku, egois juga sama seperti aku, kami tidak pernah bisa bergandengan tangan seperti layaknya bapak dan anak, seperti teman-temanku yang lain. Sesekali bicara tapi tidak sehangat obrolan sore penghujung senja ditemani teh manis dan kue gembus kesukaannya. 

Tapi aku sangat tahu, dia begitu membanggakan aku pada rekan-rekan sejawatnya, entah karena aku selalu masuk sekolah favorit, aku bisa kuliah di Jakarta seorang diri, aku bisa beradaptasi dengan kerasnya ibukota, mengisi waktu dengan berorganisasi, berkawan dengan teman-teman yang sangat menyenangkan, berkarya dan bekerja pada beberapa posisi yang membuatnya bangga.

Namun, kerasnya Bapak tak mengendur bahkan saat aku lulus tapi masih berstatus pencari pekerjaan. Aku harus berjuang mati-matian untuk bertahan hidup di Jakarta. Aku sempat limbung, tabunganku habis bahkan celengan tanah liatku hancur berkeping-keping, sekedar mencari ongkos untuk melamar pekerjaan, untuk makan sehari-hari, untuk membayar sewa kos, saat itu aku tersungkur dan menangis sejadi-jadinya...dimana perasaanmu Pak?bersyukur masih ada shabat-sahabat dan kakak-kakakku yang selalu mendukung, selalu meyakinkan aku, memberikan semangat bahwa suatu saat aku bisa membuktikan aku bisa berdiri sendiri. 

Padahal saat itu keluargaku bukan termasuk keluarga dengan status dibawah garis kemiskinan, bapakku seorang pengusaha kayu yang memiliki beberapa karyawan, dan bahkan sempat memiliki 2 pabrik kayu sekaligus. Bapakku awalnya seorang pengusaha yang ulet, dia merintis berbagai macam usaha dari nol, saya pun salut terhadap perjuangannya, pemikiran-pemikirannya.

Saat ini giliran bapakku yang limbung, usahanya bangkrut ditipu habis-habisan sama seorang anak kemarin sore. Keputusan berganti usaha mutlak keputusan dia, tanpa sedikitpun mau sharing dengan anak-anaknya, terutama aku! aku yang jelas-jelas tertarik ingin berwirausaha suatu hari nanti. Beban materi digeserkan padaku, insyaAllah aku ikhlas menuntaskan adik-adikku, sebenarnya sudah lama dengan diam-diam aku mengirim rutin ke rekening Ibukku, untuk keperluan adik-adik dan untuk keperluan ibukku. Aku sendiri yang meminta Ibu untuk merahasiakan pada bapak, karena kalau beliau tahu khawatir semua subsidi akan dihentikan dan itu akan menyulitkan Ibu dan adik-adikku, toh jumlah kirimanku masih belum seberapa.

Dikondisi seperti ini Bapak meluapkan amarahnya padaku, mengahardikku karena dengan terang-terangan aku tidak bersedia membantu bapak secara real seperti harapan dia. Bukan aku mau membalas sikapnya yang tak perduli, tapi keuanganku tak akan cukup untuk semua itu, dan aku tidak mau adikku yang terlantar.  Fokusku sekarang adalah memberikan usaha kecil untuk Ibukku sehingga dia tidak terlalu tergantung dengan kiriman bulananku, fokus memberikan pendidikan yang layak untuk adikku, dan harus fokus mendesain ulang rencana kehidupanku, masa depanku sendiri, aku tidak mau tertinggal jauh dengan teman-temanku.

Aku sangat yakin, Allah tidak akan sembarangan memberikanku cobaan, DIA mungkin sangat keterlaluan meyanyangiku, bertubi-tubi DIA berikan aku ujian, aku sangat yakin aku dapat melewatinya dengan baik tanpa perlu menyalahkan nasib, tanpa perlu mengeluh.

Aku masih memohon untuk bermimpi, bermimpi suatu saat aku bisa bergandengan tangan dengan Bapak, bicara tentang apa saja yang menyenangkan hati, mendamaikan jiwa dikursi jati dan meja bundar karyanya, dirumah kami di kaki bukit itu.
Aku yang selalu rindu senyummu Pak, dibalik keriput dan ubanmu yang kian nampak. Dan ingin sekali aku berbisik, aku sangat menyayangimu Pak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar